9D THE BEST ALUMNI SMP N 1 CILEDUG

Minggu, 15 Februari 2009

sosial pendidikan

Buruk muka, pers dibelah

[Taufiq Ismail]

/ Budiman S. Hartoyo

MARAKNYA penerbitan pers dewasa ini — dan bersamaan dengan itu juga sering terjadinya konflik sosial — rupanya membentuk asumsi di kalangan beberapa orang, seolah-olah sedikit banyak pers punya andil sebagai (salah satu) pemicu kerusuhan. Apalagi (sebagian) penerbitan, terutama tabloid, sering pula menurunkan berita utama dengan judul yang ‘keras’. Maka, tanpa memahami kodrat pers, beberapa pejabat dan politisi serta-merta menuding pers ‘memanas-manasi, mengipas-ngipas, membakar-bakar’ situasi, hingga kerusuhan semakin merebak. Benarkah pers, sengaja atau tidak, membakar-bakar keadaan hingga benar-benar membakar massa grass root, yang karena gampang terbakar lantas disebut sebagai ‘akar rumput kering’ itu?

Sesungguhnyalah, peran pers pertama-tama ialah (sekedar) memberitakan fakta, ‘memotret’ situasi, untuk disampaikan kepada publik. Oleh karena itu, pers haruslah bersikap independen, menyampaikan fakta secara obyektif, jujur, adil, berimbang. Sejalan dengan itu, pers juga berperan untuk melakukan social control dan oleh karena itu harus independen, dan cukup bijak. Di samping itu, pers juga berperan mensosialisasikan gagasan untuk membantu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Artinya, pers harus berpihak dan bertanggung-jawab kepada publik. Jika pers mengkhianati publik, dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat pembaca.

Pers bebas, seperti yang kita nikmati sekarang, merupakan salah satu buah terpenting dari era reformasi (yang dipelopori mahasiswa), yang layak kita syukuri. Perlu dicatat, bahwa pers bebas di era reformasi sekarang sangat berbeda dengan pers bebas di era tahun 1950-an yang lazim disebut (secara kurang benar) sebagai ‘zaman liberal’. Ketika itu, sebagian (besar) pers merupakan corong partai politik alias pers partisan, yang lebih mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang independen. Ketika itu, pers ikut mengambil bagian dalam pertikaian politik antarpartai yang oleh Bung Karno disebut gontok-gontokan.

http://budimanshartoyo.wordpress.com/2006/12/04/pers-bebas-konflik-sosial-pendidikan-politik/
oleh:Fia nuralfiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar