9D THE BEST ALUMNI SMP N 1 CILEDUG

Selasa, 10 Februari 2009

sosial


Kemiskinan, Modal Sosial, dan Kelembagaan
BAHWA mekanisme perekonomian dalam pasar akan melahirkan “si kalah” merupakan hal yang wajar. Yang ganjil adalah sikap tidak acuh terhadap nasib si kalah, baik oleh masyarakat maupun negara.
Itulah kira-kira yang sedang terjadi dalam berbagai temuan kasus kemiskinan belakangan ini. Banyak orang lapar di Jakarta, padahal pada saat bersamaan banyak orang berlebih sumber daya ekonomi. Busung lapar terjadi di berbagai provinsi meski otonomi daerah- yang seharusnya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat-telah dilaksanakan sekitar lima tahun.
Penjelasan mengenai hal itu, salah satunya, bisa diperoleh dari peraih Nobel Bidang Ekonomi tahun 1993, Douglas North. North menyusun teori yang disebut ilmu ekonomi kelembagaan.
Menurut dia, kinerja perekonomian hanya bisa bagus jika aspek kelembagaan berdinamika sesuai kebutuhan. Tanpa itu, mustahil kebijakan ekonomi- bahkan yang ideal secara teknis dan keilmuan-mampu menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk kemiskinan.
Surutnya modal sosial
Saya teringat pengalaman masa kecil ketika masih tinggal di sebuah desa di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ada seorang perempuan jompo di lingkungan tempat tinggal saya. Dia praktis tidak memiliki tanah, harta, dan keluarga.
Kemalangan lebih lanjut tidak menimpa nenek itu karena masyarakat bekerja sama membantunya. Masyarakat menyediakan tanah, membangun rumah, dan menanggung biaya hidup rutin nenek itu. Bukan kebetulan jika penyumbang terbesar adalah “pemenang” perekonomian, seorang grosir ubi jalar di tingkat kecamatan.
Francis Fukuyama dan beberapa ilmuwan sosial lainnya menamakan fenomena itu sebagai modal sosial. Fukuyama mendefinisikannya sebagai kemampuan yang timbul dari kepercayaan (trust) di dalam sebuah masyarakat. Masyarakat bisa mewujudkan hal-hal yang tidak bisa dilakukan sendirian, termasuk dalam kasus bantuan untuk nenek di kampung halaman saya itu.
Modal sosial telah berfungsi dengan baik sebagai jaring pengaman sosial bagi kaum miskin di Indonesia. Bantuan dalam level keluarga besar, komunitas, atau dalam relasi pertemanan telah menyelamatkan banyak kaum miskin. Saat terjadi krisis ekonomi 1997-1998, lonjakan kaum miskin tidak sebesar yang diduga. Sebabnya, banyak orang terkena imbas krisis diselamatkan relasi kekerabatan.
Namun, modal sosial dalam bentuk-bentuk itu sedang dan akan menyurut. Sebabnya, bentuk modal sosial itu memerlukan hubungan personal. Padahal, spesialisasi dan pembagian kerja (division of labor) cenderung mengarahkan hubungan antarorang menjadi bersifat impersonal. Ditambah lagi waktu dan ruang interaksi yang tersedia kian sempit. Hal ini terutama tampak jelas di kota-kota besar.
Akibatnya, warga kota besar yang berkecukupan secara ekonomi tidak terdorong membantu kaum miskin meski kemiskinan hadir begitu dekat, misalnya dalam bentuk rumah kumuh dan tunawisma. Kepedulian mungkin saja masih besar, tetapi relasi yang bersifat impersonal menyulitkan aktualisasi kepedulian itu.
Tentu saja modal sosial tidak menyurut sepenuhnya. Seperti yang diidentifikasi di Amerika Serikat (Skocpol, 1999), modal sosial di Indonesia juga mengalami transformasi. Modal sosial tidak lagi dominan di level komunitas atau keluarga besar, tetapi berubah dalam bentuk kelompok-kelompok profesional atau hobi, seperti kelompok motor gede, fotografi, dan kelompok pengajian.
Sayang, kelompok-kelompok seperti itu cenderung beranggotakan orang-orang dengan strata sosial homogen. Sulit sekali terjadi “pertemuan” antara kaum miskin dan kalangan ekonomi menengah ke atas. Bentuk modal sosial seperti ini, dengan demikian, kurang efektif untuk menjadi jaring pengaman sosial kemiskinan.
Tidak siapnya kelembagaan
Douglas North-dalam konsep ekonomi kelembagaan- menyebutkan tiga unsur kelembagaan. Pertama, aturan formal seperti undang-undang dan peraturan pemerintah.
Kedua, aturan nonformal seperti norma, nilai, dan kesepakatan. Ketiga, penegakan kedua aturan formal dan nonformal.
Praktis, saat ini, hanya aturan nonformal yang relatif memadai dalam kelembagaan pengentasan kemiskinan. Di masa lalu, penegakan aturan nonformal dalam bentuk modal sosial berjalan baik. Dalam beberapa kasus, hal itu mampu melindungi kaum miskin tanpa adanya aturan formal.
Aturan formal yang melindungi kaum miskin perlu disusun dan diimplementasikan untuk kepentingan saat ini dan di masa datang. Spesialisasi dan pembagian kerja dalam perekonomian, mau tidak mau, membuat aturan nonformal kurang berfungsi.
Gagasan pengentasan kemiskinan, misalnya, begitu kuat terlihat dalam wacana publik. Bagaimanapun, hanya pemerintah yang mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara komprehensif dengan berbagai bentuk kebijakan publik.
Sejauh ini pemerintah belum mendorong dinamika kelembagaan sesuai kebutuhan. Liberalisasi ekonomi dijalankan, tetapi pemerintah tidak menyediakan semacam social security act bagi “si kalah”, terutama kaum miskin.

Otonomi daerah-tanpa penataan kelembagaan yang tepat-juga bisa mengaburkan pembagian kewajiban pelayanan publik bagi kaum miskin antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dengan demikian, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait isu kelembagaan dan kemiskinan selayaknya tidak sebatas hanya menghidupkan kembali beberapa lembaga yang bermanfaat di masa lalu. Pemerintah harus menata kembali dinamika kelembagaan secara menyeluruh, sesuai perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Perlu diperhatikan juga aspek tahapan waktu yang jelas dalam penataan kelembagaan, mencakup jangka pendek, menengah, dan panjang.
Jika tidak, sekali lagi, kebijakan ekonomi yang dianggap ideal dan hebat di atas kertas sekalipun tidak akan menyejahterakan publik, terutama kaum miskin. Itulah yang telah terjadi selama ini.Oleh Tata MustasyaTata Mustasya Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute
Possibly related posts: (automatically generated)
by:wahyuningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar