9D THE BEST ALUMNI SMP N 1 CILEDUG

Selasa, 10 Februari 2009


Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi
Oleh Herwindo
Pertama-tama saya akan memulai tulisan ini dengan pendapat yang akan saya kutip dari tulisan Ignas Kleden ini. Pendapat Karl Popper yang dikatakannya sangat terkenal, tendensi para ilmuwan untuk memberi pembuktian bersifat psikologis, sedangkan tugas untuk memalsukan diri sendiri bersifat filosofis (Popper, 1979:30). Dari sini dapat kita bentangkan permasalahannya ilmu sosial yang berkembang kekinian.
Dalam hal ini dapatlah kiranya menjelaskan keadaan ilmuwan sosial di Indonesia khususnya, Asia Tenggara pada umumnya. Karena pada dasarnya fenomena yang menjadi fakta sosial di lingkungan lokal dan regional ini sama keadaannya, refleksi jarang dilakukan bahkan dalam tindakannyapun “kering” dari pemaparan realitas sosial yang ada. Padahal refleksi diri merupakan perangkat metodologis yang terpenting bagi ilmu-ilmu sosial kritis, menurut Habermas (Habermas, 1969, 155-68).
Penelitiannya sangat “kering” dari fungsi sosialnya seorang ilmuwan sosial dan hal tersebut menjadikan ilmu sosialnya sendiri “kehilangan” makna atas apa-apa yang diteliti dan dideskripsikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi khalayak akademis dan masyarakat umum.
Namun fenomena tersebut, bukan merupakan keadaan yang dipilih oleh setiap ilmuwan sosial dimanapun melainkan ada unsur represifitas yang bersifat laten dan halus (disublimasikan) oleh kekuatan penguasa pada zaman orde baru. Berangkat dari semua itu ilmu sosial menjadi ilmu yang kajiannya tidak holistik, terdikotomis (fragmentasi), monoton dalam pengembangan, minim akan etika dan tidak bebas nilai. Fakta akan hal tersebut dapat dilihat pada media cetak harian The Jakarta Post yang terbit 26 Oktober 1992, yang menulis mengenai kongres nasional partai politik penguasa orde baru (Golkar) dalam penguasaan ruang sosio-politik untuk mendapatkan stabilitas politik dan dengan berbagai cara mempertahankan “ideologi”pembangunan nasional.
Realitas tersebut terjadi karena ada penekanan terhadap realitas yang akan dibentuk oleh penguasa orde baru guna memperlancar pembangunan nasioanal yang diprogram oleh penguasa waktu itu. Seluruh pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan ekses sosial dan kalaupun ada ilmuwan sosial yang melakukan tugasnya, penelitian dan observasi atas realitas sosial hanya berlaku bagi kepentingan penguasa. Metodologi yang digunakanpun sangat konvensional dalam melakukan penelitian, dimana nantinya berguna untuk membangun konstruksi wacana pembangunan yang juga berekses pembentukan rekayasa sosial Tentu saja teori yang digunakan oleh ilmuwan sosial kebanyakan, adalah teori struktural fungsionalis yang cenderung mengikuti logika politik perspektif penguasa.
Ilmu sosial yang mengembang hanya menjadi alat peredam konflik yang berkerak dan penyakit yang akut bagi negara dan bangsa Indonesia. Kaum ekonom dan sosiolog selalu beriringan pendapatnya, lebih-lebih realitas yang terlihat menyamarkan opini seorang politisi dengan dua kaum akademisi di atas tetapi, bila dicermati titik tolak disiplin ilmu masing-masing yang berbeda ini tersistematis retorikanya dan searah dengan kebutuhan yang dipesan oleh para penguasa orde baru.
Bagi para ekonom, pertumbuhan ekonomi yang akan memacu kearah pembangunan nasioanal merupakan tujuan utamanya, oleh karena itu hal tersebut menjadi landasan atas peningkatan taraf hidup bangsa. Sebenarnya bila dicermati melalui kontekstual sejarah ditekankannya pertumbuhan ekonomi lekat sekali kaitannya dengan satu alasan politis : masalah legitimasi untuk orde baru, baik itu secara internal maupun secara eksternal atas realitas politik sebelumnya (era kepemimpinan Soekarno).
Era kepemimpinan Soekarno yang menekankan pada national character building mendapatkan delegitimasi melalui kudeta konstitusional yang dilakukan oleh penguasa orde baru, setelah tumbangnya Soekarno diisilah dengan Soeharto yang mengedepankan national building. Melalui teori tetesan kebawah (trickle down theory) kepada khalayak bangsa Indonesia dihipnotis, penumpukan kekaIlmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi
Oleh Herwindo
Pertama-tama saya akan memulai tulisan ini dengan pendapat yang akan saya kutip dari tulisan Ignas Kleden ini. Pendapat Karl Popper yang dikatakannya sangat terkenal, tendensi para ilmuwan untuk memberi pembuktian bersifat psikologis, sedangkan tugas untuk memalsukan diri sendiri bersifat filosofis (Popper, 1979:30). Dari sini dapat kita bentangkan permasalahannya ilmu sosial yang berkembang kekinian.
Dalam hal ini dapatlah kiranya menjelaskan keadaan ilmuwan sosial di Indonesia khususnya, Asia Tenggara pada umumnya. Karena pada dasarnya fenomena yang menjadi fakta sosial di lingkungan lokal dan regional ini sama keadaannya, refleksi jarang dilakukan bahkan dalam tindakannyapun “kering” dari pemaparan realitas sosial yang ada. Padahal refleksi diri merupakan perangkat metodologis yang terpenting bagi ilmu-ilmu sosial kritis, menurut Habermas (Habermas, 1969, 155-68).
Penelitiannya sangat “kering” dari fungsi sosialnya seorang ilmuwan sosial dan hal tersebut menjadikan ilmu sosialnya sendiri “kehilangan” makna atas apa-apa yang diteliti dan dideskripsikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi khalayak akademis dan masyarakat umum.
Namun fenomena tersebut, bukan merupakan keadaan yang dipilih oleh setiap ilmuwan sosial dimanapun melainkan ada unsur represifitas yang bersifat laten dan halus (disublimasikan) oleh kekuatan penguasa pada zaman orde baru. Berangkat dari semua itu ilmu sosial menjadi ilmu yang kajiannya tidak holistik, terdikotomis (fragmentasi), monoton dalam pengembangan, minim akan etika dan tidak bebas nilai. Fakta akan hal tersebut dapat dilihat pada media cetak harian The Jakarta Post yang terbit 26 Oktober 1992, yang menulis mengenai kongres nasional partai politik penguasa orde baru (Golkar) dalam penguasaan ruang sosio-politik untuk mendapatkan stabilitas politik dan dengan berbagai cara mempertahankan “ideologi”pembangunan nasional.
Realitas tersebut terjadi karena ada penekanan terhadap realitas yang akan dibentuk oleh penguasa orde baru guna memperlancar pembangunan nasioanal yang diprogram oleh penguasa waktu itu. Seluruh pembangunan yang dijalankan tidak mengindahkan ekses sosial dan kalaupun ada ilmuwan sosial yang melakukan tugasnya, penelitian dan observasi atas realitas sosial hanya berlaku bagi kepentingan penguasa. Metodologi yang digunakanpun sangat konvensional dalam melakukan penelitian, dimana nantinya berguna untuk membangun konstruksi wacana pembangunan yang juga berekses pembentukan rekayasa sosial Tentu saja teori yang digunakan oleh ilmuwan sosial kebanyakan, adalah teori struktural fungsionalis yang cenderung mengikuti logika politik perspektif penguasa.
Ilmu sosial yang mengembang hanya menjadi alat peredam konflik yang berkerak dan penyakit yang akut bagi negara dan bangsa Indonesia. Kaum ekonom dan sosiolog selalu beriringan pendapatnya, lebih-lebih realitas yang terlihat menyamarkan opini seorang politisi dengan dua kaum akademisi di atas tetapi, bila dicermati titik tolak disiplin ilmu masing-masing yang berbeda ini tersistematis retorikanya dan searah dengan kebutuhan yang dipesan oleh para penguasa orde baru.
Bagi para ekonom, pertumbuhan ekonomi yang akan memacu kearah pembangunan nasioanal merupakan tujuan utamanya, oleh karena itu hal tersebut menjadi landasan atas peningkatan taraf hidup bangsa. Sebenarnya bila dicermati melalui kontekstual sejarah ditekankannya pertumbuhan ekonomi lekat sekali kaitannya dengan satu alasan politis : masalah legitimasi untuk orde baru, baik itu secara internal maupun secara eksternal atas realitas politik sebelumnya (era kepemimpinan Soekarno).
Era kepemimpinan Soekarno yang menekankan pada national character building mendapatkan delegitimasi melalui kudeta konstitusional yang dilakukan oleh penguasa orde baru, setelah tumbangnya Soekarno diisilah dengan Soeharto yang mengedepankan national building. Melalui teori tetesan kebawah (trickle down theory) kepada khalayak bangsa Indonesia dihipnotis, penumpukan kekayaan merupakan awalan dari pertumbuhan ekonomi, lalu barulah kekayaan tersebut terdistribusikan secara lebih merata.
Padahal teori tetesan kebawah hanya sebagian saja dapat menjawab permasalahan tertundanya pemenuhan kebutuhan materiil, bagi mayoritas masyarakat yang tidak mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Hal tersebut menjadi kekayaan wacana yang menghasilkan buih (busa detergen) saja, embrio yang tercipta yaan merupakan awalan dari pertumbuhan ekonomi, lalu barulah kekayaan tersebut terdistribusikan secara lebih merata.
Padahal teori tetesan kebawah hanya sebagian saja dapat menjawab permasalahan tertundanya pemenuhan kebutuhan materiil, bagi mayoritas masyarakat yang tidak mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Hal tersebut menjadi kekayaan wacana yang menghasilkan buih (busa detergen) saja, embrio yang tercipta

diposting oleh;thomas a.d
11 02 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar